Sore itu tak begitu cerah pun tak begitu mendung, matahari mengintip dari balik serambi awan sesekali. Cuaca tak begitu dingin, angin berhembus melewati tubuh dengan sewajarnya. Tapi aneh, kenapa seperti ada sebuah jacket kulit dingin yang menyelimuti tubuhku tanpa terlewat satu jemari pun. Sungguh terasa dingin, sampai-sampai aku ingin memeluk Ayahku yang sedang mengemudi motor berpacu dengan waktu untuk mengantarku ke stasiun kota Malang sore itu. Aku dibonceng Ayahku menggunakan sepeda motor supra 125 cc berwarna abu-abu dengan beberapa corak hitam keluaran tahun 2005. Kulambaikan tanganku ke kanan dan ke kiri untuk menghadang pengemudi lain yang ingin mendahului. Jalur kanan, dengan arus yang berlawanan arah pun menjadi pilihan untuk mendahului kendaraan bermotor di depan kami. Alhasil, kami tiba di stasiun hanya dengan waktu tiga puluh menit. Lima belas menit lebih cepat dari waktu sewajarnya, dan ditambah dengan kemacetan kota.
Setibanya di stasiun, layaknya seorang anak laki-laki dengan Ayahnya tak begitu suka berlama-lama. Maka lekas kucium tangan Ayahku dengan mengucapkan salam dan bergegas memasuki stasiun. Selang tiga langkah terdengar suara Ayahku dengan nada agak berteriak, bermaksud agar terdengar olehku. “Hati-hati di jalan, sukses ya!” kurang lebih seperti itu kata-kata yang kudengar sebelum tepat memasuki pintu depan stasiun. Aku hanya tersenyum, dan mengangguk ke arahnya.
Aku berjalan melewati peron, banyak orang berlalu-lalang banyak pula yang bersandar di dinding sembari menunggu kereta datang. Jarak sekitar tiga meter tak jauh dari dinding, ada beberapa rel kereta api yang entah menuju kemana. Tak perlu menunggu lama, selang beberapa menit kereta yang akan kutumpangi telah datang, “MALABAR EKSPRES” namanya. Kereta yang hanya satu-satunya kereta dengan tujuan akhir kota Bandung, dengan kota Malang sebagai awal pemberangkatan. Bisa dibilang satu-satunya kereta yang langsung menghubungkan antara kota Malang dan kota Bandung, selain itu tak ada.
Kereta Malabar itu berhenti persis di sebelah peron, membuat orang-orang yang mulanya bersandar di dinding bergegas mengambil tas mereka masing-masing dan masuk ke dalam kereta. Aku masih menyisiri gerbong demi gerbong kereta itu, menanyakan kepada pramugari kereta letak gerbong eksekutif. Tulisan ‘Eksekutif’ tampak pada sebuah gerbong yang sedang kusisiri, tanpa pikir panjang langsung saja ku masuk ke dalam gerbong itu. Kucari kursi dengan nomor 10A sesuai dengan apa yang tertera pada tiketku. Kursiku berada disamping jendela, kuletakkan barang-barangku pada rak besi yang berada tepat di atas tempat dudukku. Dengan sedikit lega langsung ku duduk di kursi bernomor 10A itu, kusandarkan kepalaku dan kuluruskan kakiku bagai orang yang sudah bersiap tertidur dengan posisi duduk. Sesekali kuketuk-ketukkan jari telunjuk tangan kananku ke jendela. Entah untuk apa, yang jelas gerakan itu cukup untuk menyibukkan diriku di tengah orang-orang yang masih berlalu-lalang dan menata barangnya pada gerbong itu. Kursi sebelahku masih kosong, belum ada yang menempati. Ada atau tak ada orang yang akan menempatinya, aku tak terlalu menghiraukan. Namun kalau boleh berharap, aku lebih senang agar kursi disebelahku memang kosong. Biar suasana kereta seadanya yang menemani perjalananku hingga tiba di Bandung.
Sayang sekali, tapi sepertinya harapanku bukan pilihan terbaik saat itu. Tuhan memiliki rencana yang lain. Ia menghadirkan seseorang tuk menempati tempat duduk di sampingku, menemani sepanjang perjalananku ke Bandung. Seseorang laki-laki lanjut usia, mungkin alangkah baiknya apabila langsung kusebut sebagai lelaki tua atau bahkan seorang kakek-kakek. Kakek itu meletakkan barang-barangnya pada rak besi, dan sebuah koper lagi ia letakkan di bawah kursi. Sembari kubantu mendorongnya ke kolong bawah tempat duduk kami, kakek itu berterima kasih kepadaku dan kubalas dengan senyuman.
“Adik asli Malang?” Ujar si Kakek. Aku pun mengangguk. Sebuah sapaan yang membuat perasaanku terasa lebih hangat. Jaket kulit dingin yang selama ini melekat erat di tubuhku sejak dari pintu masuk stasiun, lama-kelamaan seperti memuai. Mungkin seperti yang banyak orang katakan, ketika ada seseorang sedang termenung ajaklah ia bicara. Kendati awalnya ia akan merasa risih, namun bersama waktu hal itu lah yang sebenarnya akan membuatnya merasa sedikit lebih senang. “Mau ke Bandung?” Terka si Kakek lagi. Sekali lagi, Aku pun mengangguk. “Oh kalau begitu sama” Sambungnya.
Belum sempat mengeluarkan kata-kata lagi dari mulutnya, si Kakek mengfokuskan indra pendengarannya. Kudengar pula suara wanita yang keluar dari speaker yang menempel di dinding kereta. “Untuk seluruh penumpang Kereta Api Ekspres Malabar tujuan akhir stasiun Bandung, diharap segera memasuki kereta dan duduk pada tempat yang telah disediakan, karena beberapa saat lagi kereta akan diberangkatkan” Seru wanita yang suaranya keluar dari speaker. Kurang dari lima menit kereta yang kutumpangi mulai berjalan, pintu demi pintu pada gerbong ditutup rapat oleh petugas keamanan kereta itu. Sekali lagi kusandarkan tubuhku pada kursi empuk di kelas eksekutif itu, dan berharap tidur bisa melelapkanku selama perjalanan hingga nanti tiba di Bandung.
Sayang sekali, lagi-lagi harapanku tidak terwujud dengan cepat. Si Kakek tidak rela membiarkanku menikmati perjalanan itu dengan tertidur. Beberapa pertanyaan langsung disodorkan si Kakek kepadaku bak seorang reporter yang sedang melaksanakan wawancara kepada narasumber atau orang-orang penting. Lima belas jam kira-kira, perjalanan dari stasiun Malang menuju stasiun kota Bandung menggunakan kereta. Aku berpikir sejenak dalam hati, “Apakah Kakek ini akan mengajakku berbincang-bincang selama itu ya?” Si Kakek hanya tersenyum ramah.
“Ke Bandung kuliah dek?” Tanya si Kakek. “Iya kek” Ujarku dengan lembut. “Bukannya di Malang banyak universitas ya? Atau memang pengen ke Bandung? Tekannya. Mulanya Aku hanya ingin menjawab pertanyaan si Kakek hanya dengan sebatas kata-kata ‘Ya’ dan ‘Tidak’, sesekali kalaupun perlu aku akan mengangguk dan tersenyum kepadanya. Namun berkat pertanyaan itu mau tidak mau aku harus bercerita lumayan panjang kepada si Kakek, kenapa Aku bisa sampai kuliah ke Bandung?. “Saya berasal dari pondok pesantren kek”. “Oh kamu santri, eh.. mahasantri?” tebak si Kakek. “Iya Kek” jawabku kaget sambil menyambung cerita. “Sebelum lulus saya mengikuti tes penerimaan salah satu progam beasiswa dari kementerian agama. Beasiswa yang ditujukan kepada santri-santri se-Indonesia untuk melanjutkan studi di jenjang sarjana (S1) di beberapa perguruan tinggi negeri. Salah satu perguruan tingginya adalah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Itulah pilihan saya ketika mengikuti tes tersebut, dengan pilihan jurusan pendidikan matematika”. “Kamu lolos tes seleksinya?” Sela si Kakek. “Alhamdulillah kek” jawabku dengan bangga namun tetap dengan nada merendah. “Sebenarnya juga ada Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya yang menawarkan jurusan matematika. Tapi memikirkan panasnya kota Surabaya saja saya sudah enggan, apalagi merasakannya kek”. Tambahku, si Kakek tertawa kecil. Disisa perjalanan itu kuhabiskan untuk menikmati pemandangan di luar lewat jendala kereta. Bos-bos yang bekerja sendiri di pabriknya masing-masing. Sebuah pabrik hijau dengan hamparan tanah luas, dengan tempat peristirahatan khusus berkacakan keindahan alam yang mahal harganya bagi orang-orang di perkotaan. Tak jarang pula pemandangan kota dengan segala hiruk-pikuknya.
Waktu dan tempat, Bandung, dengan segala sesuatunya mempersilahkan diriku untuk menikmatinya. Pagi itu sekitar pukul delapan lewat dua puluh lima menit, aku telah tiba di Bandung. Cuaca saat itu cerah, secerah senyumanku yang menikmatinya. Aku sangat senang, benar-benar senang. Bukan cuaca panas yang mungkin menyengat tubuhku yang kurasakan, melainkan udara sejuk, atau bahkan dingin yang menyelimuti tubuhku. Suasana seperti kota asalku, Malang. Sepertinya tidak akan butuh waktu lama bagiku untuk beradaptasi dengan keadaan disini, Aku sangat senang saat itu, benar-benar sangat senang. Bahkan, jikalau setiap benda mati memiliki mulut, Aku merasa mereka seperti menyambut dan tersenyum ramah padaku. Senyum di wajahku meluap-luap, sampai-sampai kubagikan ke apa dan siapa pun saja yang kujumpai saat itu. Sempat kutengok kembali kereta yang baru saja kutumpangi, kuberi senyuman lebar dengan perasaan masih agak tidak percaya.
Di Bandung, kuliahku berjalan sebagaimana mestinya. Ketika ada jadwal kuliah aku masuk kelas, ketika jam usai aku pulang ke kosan, saat ujian tiba aku pun mengikutinya. Mendapat nilai bagus, pernah jelek, bahkan sempat ada yang harus mengikuti remidial. Tidak ada yang terlalu mencolok pada perkuliahanku, mungkin bisa dibilang begitu. Sempat terkejut diawal perkuliahan. Layaknya seekor naga yang baru menetas dari telornya dan menatap sebuah dunia. Sebagai mahasantri aku sedikit kaget melihat dunia Bandung yang sangat jauh berbeda dengan apa yang telah aku alami selama tiga tahun terakhir di pesantren. Mahluk Tuhan, yang katanya diciptakan dari sebuah tulang rusuk, Wanita. Di pesantren, jangankan bertegur-sapa, berjumpa saja hampir menjadi sesuatu hal yang langka. Saat ini, diperkuliahanku, tempat dudukku saja bersebelahan langsung dengan mahluk itu. Lebih gilanya lagi (mungkin hanya menurutku), jumlah mahasiswa di kelasku dari 42 mahasiswa, hanya enam orang yang secara biologis berjenis kelamin jantan, sisanya betina. Secara matematis, bisa dibilang jumlah laki-laki dan perempuannya berbanding satu dibanding enam. Kalian ingin tahu bagaimana rasanya? Cobalah kuliah pada jurusan pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tidak kuceritakan lebih jauh, karena bagian yang menarik (lagi-lagi menurutku) akan dimulai setelah ini.
Jauh sebelum masuk ke dalam dunia perkuliahan, di Bandung selama dua bulan pertama aku sudah lebih dahulu mendarat di dunia organisasi, komunitas, kumpulan, atau apapun itu namanya. Sebut saja “CSSMoRA UPI”, yang berdasarkan kepanjangannya adalah sebuah komunitas, kemudian dibentuk dan dijalankan bak sebuah organisasi, dan mengadakan suatu acara-acara layaknya sebuah perkumpulan. Di CSSMoRA UPI itu, kami sesama penerima beasiswa dari kementerian agama menjalin suatu hubungan. Hubungan yang awalnya santri-santri dari berbagai pesantren seantero Indonesia, dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan tentunya mayoritas Jawa, berubah menjadi sebuah saudara seperantauan di Bandung. Tak jarang beberapa dari kita menyebutnya sebuah keluarga yang berbeda orang tua. Di CSSMoRA UPI itu aku datang sebagai angkatan ketiga bersama dua puluh sembilan temanku yang lain. Di atas kami ada dua angkatan yang mendahului yakni angkatan 2010 dan angkatan 2011. Layaknya kedatangan adik baru, disambutnya kami dengan begitu hangat. Diperkenalkannya kami dengan dunia perkuliahan, organisasi, dan lain semacamnya. Total kami semua ber-tujuh puluh orang. Diperkuliahan, kami terbagi ke dalam beberapa jurusan, Matematika, Biologi, Kimia, Fisika, dan Bahasa Inggris. Terdapat empat belas orang di tiap-tiap jurusan, dari angkatan pertama dan kedua masing-masing empat orang, dan enam orang dari angkatanku.
Tidak banyak kisah yang terjadi diantara kami, tapi sangat sangat sangat lah banyak. Kalau boleh, kata ‘sangat’ itu kutulis sebanyak satu halaman sekalipun. Tapi tiga saja sepertinya sudah mewakili. Kita sedih bersama pun tertawa beramai-ramai. Sering kali terluap gembira dari sebuah acara yang kita adakan bersama, tak jarang pula pertikaian hebat yang terjadi diantara kita, antar sesama teman satu angkatan, dengan adik tingkat, atau bahkan dengan kakak tingkat. Anggapku itu semua adalah pelajaran, sebuah pelajaran yang seorang guru terbaik di dunia sekalipun belum tentu dapat mengajarkannya. Kisah demi kisah, masalah demi masalah, bagaikan sebuah materi pelajaran dengan jumlah bab yang tak berujung. Sempat terpikir olehku bahwa kisah dan pelajaran yang diberikan oleh kumpulan ini, bisa saja telah berakhir. Ternyata tidak, kisah demi kisah sekaligus pelajaran masih terus saja mengisi setiap sel-sel saraf dan memori pada otakku.
Pada hari itu kurang lebih sudah genap empat tahun aku berada di Bandung bersama mereka. Mau tidak mau aku harus siap tuk meninggalkan mereka, atau mungkin mereka yang harus rela membiarkanku pergi. Perkuliahanku telah berakhir, setiap perjalanan dengan lika-liku yang sangat banyak tidak pernah seinci pun lepas dari pengaruh mereka. Segala macam bentuk bantuan, dorongan, maupun semangat tak pernah luput mereka berikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka sungguh pandai dalam memainkan perannya masing-masing disetiap perjalanan itu.
Sore itu, sama persis dengan saat pertama kali aku akan ke Bandung. Cuaca tak mendung pun tak terlalu cerah, matahari mengintip dari balik awan sesekali. Memberi warna jingga yang indah dan menawan pada langit sore itu. Angin berhembus seadanya, menari-nari lembut mengelilingi tubuhku dan saudara-saudaraku. Aku telah wisuda, mereka menyambutku yang baru keluar dari gedung tempat aku diwisuda. Tak hanya aku, ada juga teman se’beasiswa’anku, yang satu jurusan, satu kosan, dan bahkan satu kelas. Serta kakak tingkat yang saat itu wisuda bersamaku. Kami disambut begitu meriah, teriakan selamat terdengar begitu ramainya. Tak jarang, bunga, cokelat, dan bermacam-macam hadiah diberikan kepada kami sebagai bentuk apresiasi atau mungkin sekaligus sebuah doa dan harapan agar mereka juga dapat segera menyusul tuk menuntaskan perkuliahan mereka di Bandung dan menikmati wisuda.
Beberapa hari setelah wisuda aku kembali pulang ke kampung halamanku, Malang. Menaiki kereta yang sama, kereta yang pertama kali kutumpangi untuk pergi ke Bandung. Bedanya, saat pertama aku berada di gerbong eksekutif, sekarang, aku hanya berada di gerbong ekonomi. Maklum, atau bisa dibilang sesuatu yang wajar bagi seorang perantau. Tak hanya itu, aku juga tak berjumpa dengan si Kakek yang pertama kali menjadi teman perjalananku ke Bandung. Sebenarnya aku berharap banyak agar berjumpa kembali dengan si Kakek, agar kepulanganku sedikit lebih mendramatisir layaknya film korea. Tapi mana mungkin, secara matematis satu banding satu milyar mungkin peluangnya.
Aku sudah tiba di Malang, di rumahku, di kamarku, dan duduk tepat di hadapan meja belajrku saat ini. Notif dari telephone genggam milikku tak henti-henti berdering, menyampaikan sebuah kisah-kisah baru dalam bentuk pesan dari saudara-saudara seperantauanku itu. Dimana sempat terpikir olehku, kalau-kalau kisah itu akan berakhir. Nyatanya tidak, aku masih bisa menikmati kisah-kisah selanjutnya diantara kami. Hanya saja, untuk kali ini dan kedepannya aku hanya akan mengikuti setiap ceritanya dari foto maupun video yang mereka kirim pada grup di salah satu media sosial. Tak mengapa, hal itu sudah cukup bagiku untuk mengusir sunyi saat ku merasa sepi dan pemberi tawa disaat ku masih merasa sendirian walau sedang berkumpul dengan teman-temanku. Lebih jauh lagi, sama seperti apa yang disampaikan oleh Endah and Resza pada lagunya yang berjudul ‘Untuk Dikenang’.
Pun pelajaran yang mungkin saat itu tiba-tiba terlintas dipikiranku. Pelajaran yang bukan sekedar pelajaran mengenai bagaimana menganggarkan dana organisasi, mengurus surat-menyurat, atau mungkin menyusun sebuah kepanitiaan untuk sebuah acara, dan lain sebagainya. Sebuah pelajaran yang menuntunku, agar dapat merangkai kembali kisah-kisah bersama mereka dan tidak sekedar melewati media sosial atau semacamnya. Selama ini aku bersama saudara-saudaraku itu belajar mengenai organisasi, bagaimana kita bersosialisasi, merancang sebuah acara dan kepanitiaan, pun menjalin hubungan dengan masyarakat luas, dan yang paling penting membangun rasa kasih sayang antar satu sama lain. Kalau dipikir-pikir kita semua berasal dari jurusan pendidikan, tak jarang merupakan pendidikan ilmu matematika dan ilmu pengetahuan alam yang bisa dibilang dasar pendidikan di negara ini. Sebuah sekolah yang megah dan indah, mungkin bisa menjadi suatu progam kerja untuk sebuah acara yang tak berujung bagi kita semua. Sebuah sekolah dengan guru-guru yang berasal dari saudara-saudara seperantauanku selama di Bandung. Sebuah sekolah dengan berbagai macam tabiat karena guru-gurunya pun berasal dari pesantren-pesantren se-Indonesia, yang mungkin akan memberi warna pada kisah-kisah kami ditiap harinya. Ini sekaligus pesan dariku kepada saudara-saudaraku di CSSMoRA UPI, sungguh aku tak rela berpisah dengan mereka sebenarnya. Untuk saat ini, hanya sebuah bakal pikiran dariku untuk mengumpulkan kita kembali. Sekolah rindu para mahasantri rantau, sebuah revolusi mental bagi para generasi santri muda se-Indonesia agar dapat memajukan pendidikan di negara ini melalui berbagai macam adat dan kaidah kepesantrenan.
Friday, October 7, 2016
Friday, January 8, 2016
M[A]TRIX
12:51 PM
11 comments
Selamat malam saudara-saudara,
malam ini ada sebuah kabar yang sia-sia
mengenai beberapa orang unik
yang telah merelakan waktunya
selama satu hari satu malam
di sebuah villa daerah Lembang
untuk dibagikan kepada teman-teman sekelasnya
termasuk saya, demi mencari suatu arti kata “Satu Hati”
Berikut nama-nama dan kriteria orang-orang tersebut:
Tuesday, December 29, 2015
Tuesday, December 22, 2015
BECK
9:05 PM
No comments
full moon sways
gently in the night of one fine day
on my way looking for a moment with my dearfull moon waves slowly on the surface of the lake
you were there smiling in my arms for all those years
gently in the night of one fine day
on my way looking for a moment with my dearfull moon waves slowly on the surface of the lake
you were there smiling in my arms for all those years
what a fool i don't know about tomorrow what it's like to be
i was fool couldn't let my self to go even though i feel the end
i was fool couldn't let my self to go even though i feel the end
old love affair floating like a bird resting her wings
you were there smiling in my arms for all those years
you were there smiling in my arms for all those years
- Moon On The Water -
Thursday, December 3, 2015
Realistic Mathematics Education By Marja
12:56 AM
No comments
Marja van den Heuvel-Panhuizen
Realistic Mathematics Education
This lecture addresses several “progress” issues related to the Dutch approach to mathematics education, called “Realistic Mathematics Education” (RME). The most important of these issues is the way in which RME facilitates the progress of children’s understanding in mathematics. This topic forms the heart of the lecture. Attention is paid to both the micro-didactic and the macro-didactic perspective of the students’ growth. Progress in achievements, as the result of this learning, is the next progress issue to be dealt with. Finally, the spotlights are turned towards the developments within RME itself. The general focus in the lecture is on primary school mathematics education.
RME in brief Realistic Mathematics Education, or RME, is the Dutch answer to the need, felt worldwide, to reform the teaching of mathematics. The roots of the Dutch reform movement go back to the beginning of the seventies, when the first ideas for RME were conceptualized. It was a reaction to both the American “New Math” movement, which was likely to flood our country in those days, and the then prevailing Dutch approach to mathematics education, which often is labeled as “mechanistic mathematics education.”